Entah kenapa akhir-akhir ini aku sering mendengar orang berkata “Pokoknya target gue harus nikah umur 30 tahun. Gaspol!!!”
Menurutku gak salah dengan menjadikan pernikahan sebagai sebuah pencapaian. Apalagi memberikan batas umur pada diri sendiri untuk wajib menikah. Tapi kalau ditanya apa sebenarnya tujuan kamu menikah, apakah kamu bisa jawab?
Aku ingat momen empat tahun lalu sewaktu memperkenalkan pasanganku kepada sahabat dan mentorku, dan memberitahu rencana kami untuk menikah. Salah satu sahabatku melontarkan pertanyaan yang cukup dalam kepada kami, “Visi kalian apa nih dalam pernikahan ini?”
Sewaktu itu aku dan pasanganku gelagapan, karena meski hati sudah mantap untuk menikah, kami tidak tahu apa sesungguhnya tujuan / visi kami. Alhasil, kami hanya menjawab pertanyaan itu dengan guyonan untuk mengalihkan topik pembicaraan.
Sepulangnya dari makan malam, mulailah kami berdiskusi tentang visi yang pada akhirnya dapat kami sepakati bersama. Kami sadari selama ini kami kurang banyak berbincang tentang segala kemungkinan, harapan, dan kebutuhan kami di depan sana.
Setelah hari itu, hampir setiap waktu bersama kami habiskan untuk deep talk dan membuat kesepakatan komitmen kami dalam rumah tangga nanti. Bayangkan satu setengah tahun sebelum menikah bukannya sibuk mempersiapkan pesta, kami malah lebih intens deep talk, ikut seminar, bimbingan pranikah, pemulihan dari luka dan trauma, juga membaca berbagai buku tentang pernikahan.
Dua tahun berlalu sejak hari pernikahan kami, kata orang sih ini masih masa bulan madu. Bisa jadi benar. Namun, aku sangat mensyukuri sesi-sesi deep talk juga kesepakatan-kesepakatan yang dulu pernah kami buat.
Hal-hal diatas membuat proses transisi kami dari seorang lajang menjadi seorang suami maupun istri menjadi lebih mudah dan terprediksi. Penyelesaian konflik yang saat pacaran dulu selalu disertai dengan silent treatment, teriakan, maupun isolasi diri, pelan-pelan kami rubah dengan pola komunikasi yang lebih sehat. Kami baru sadar bahwa pasangan bukanlah peramal yang bisa membaca pikiran. Segala sesuatu tidak dapat diselesaikan dengan kode, lirikan mata, sindiran, apalagi dengan memasang status di sosmed. Kalau tidak dikomunikasikan dengan terbuka dan dewasa, bagaimana pasangan dapat mengerti? Setidaknya ini milestones kami dalam dua tahun belakangan ini.
Ya, tentu saja manusia itu berevolusi. Bisa jadi pola pikir dan kebutuhan kami ini berubah seiring berjalannya waktu. Setidaknya kami terus dipersatukan oleh visi dan nilai-nilai yang sama.
Intinya, pernikahan itu bukan untuk semua orang. Kalau memang belum mendapatkan panggilan untuk menikah tak perlu dipaksa. Panggilan itu juga berbeda dari emosi ataupun hawa nafsu, maka itu perlu diuji juga dengan cara membuka mata dan telinga lebar-lebar. Rasa cinta juga hanyalah emosi sesaat yang seiring berjalan waktu akan pudar dan bisa jadi hilang, yang tersisa hanyalah komitmen. Apakah kamu siap berkomitmen meski rasa cinta itu hilang sama sekali?
Satu lagi, kata mertuaku, setampan atau secantiknya seseorang, ada banyak luka dan trauma yang akan bermunculan saat kami hidup bersama. Maka dari itu sebelum menikah, kenali diri, luka dan traumamu, mulailah proses penyembuhan diri dari sekarang. Lebih baik lagi untuk sembuh sebelum menikah agar kamu tidak melukai orang yang mencintai dan menerimamu dengan tulus.
Boleh mempersiapkan resepsi impian yang tidak terlupakan, tapi menurutku waktu persiapan pernikahan lebih baik digunakan untuk mempersiapkan mental, spiritual, finansial dan fisik kita untuk berkomitmen. Miliki mentor dalam pernikahan, ikuti konseling pranikah, perbanyak deep talk dengan pasangan, dan bekali diri dengan ilmu.
Karena menurut kami wedding-day goals sifatnya sementara, kebanggaan semu yang kita tampilkan dan pertontonkan sehari saja di depan orang banyak.
Hidup berumah tangga lebih dari itu, dimulai ketika kamu menutup pintu rumah, dimana kamu sadar bahwa si pangeran gagah yang kemarin memakai jas biru, dan puteri cantik yang kemarin memakai dress putih hanyalah orang biasa yang banyak jerawat, suka mengatur, insecure, penuh luka disana sini, dan kadang bisa berubah jadi monster saat sedang marah dan banyak tekanan.
Di saat itu ironis rasanya untuk berkata bahwa kita menyesal. Lucu rasanya saat kita menolak kekurangannya, dan hanya mau memeluk kelebihannya. Bukankah sosok di sampingmu adalah seorang manusia utuh yang juga punya kurang, cacat dan kelemahan? Mana bisa kamu menerima separuh dari dirinya, dan ingin membuang separuh lainnya.
Mampukah kamu mencintai kelemahannya juga? Atau ada kah keinginanmu untuk merubahnya? Bagaimana kalau ternyata ia tak mau berubah dan malah jadi lebih buruk? Masih maukah kamu mentolerir kelemahan itu dan mencintainya? Kalau jawabannya tidak, lebih baik pikir ulang rencanamu untuk menikah.